Tuduhan akan adanya
Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berprofesi
sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi tuduhan
Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah
mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya.
Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang
berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter.
Sedang batasan pengertian
umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ; Seseorang tenaga
kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada pasien dilakukan di
luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang berakibat cacat dan
matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang bersifat baku,
khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter) secara tegas belum ada dirumuskan di
dalam undang-undang.
Selanjutnya Tenaga Kesehatan
harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan pengalaman kerja
dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus
memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi.
Namun betapapun sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran)
tentang standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka
yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi
dan menghormati hak pasien.(vide : pasal 53 ayat 2 UU No.23 tahun 1992 tentang
Kesehatan). Dan setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (Vide : pasal 55 ayat 1 UU No.23
tahun 1992).
Dan bagi tenaga kesehatan
yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan ( Vide: pasal 54 ayat 1 dan 2 dari UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan
Jo. PP. No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan ). Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan
ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standard profesi yang
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien. (
vide : pasal 5 dari Kepres RI No.56 tahun 1995 tentang MDTK ).
Pada dasarnya seorang tenaga
kesehatan apakah dia dokter, perawat, kefarmasian,tenaga gizi, dan tenaga
lainnya tidak hanya dapat digugat dan dituntut berdasarkan adanya malpraktik,
akan tetapi tenaga kesehatan dapat juga digugat berdasarkan pelanggaran akan
hak-hak pasien yang timbul dengan adanya kontrak terapeutik antara tenaga
kesehatan dengan pasien antara lain :
1. Hak atas informasi
tentang penyakitnya;
2. Hak untuk memberi
infotmed consent untuk pasien yang tidak sadar;
3. Hak untuk dirahasiakan
tentang penyakitnya ;
4. Hak atas ikhtikad baik
dari dokter; dan
5. Hak untuk mendapatkan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya.
Dari hak-hak pasien tersebut
yang paling penting disini adalah hak tentang informasi dari pasien
bersangkutan yang biasanya berisi tentang : Diagnosa, terapi dengan kemungkinan
alternatif terapi, tentang cara kerja dan pengalaman dokter, tentang resiko,
tentang kemungkinan rasa sakit atau perasaan lainnya sebagai akibat
dilakukannya tindakan medis, tentang keuntungan terapi dan prognose.
Tenaga kesehatan dapat
digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan
dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, pasal 80, 81, 82
dari UU No.23 tahun 1992 dan ketentuan pidana lainnya. Di samping hak-hak
pasien, disini perlu juga kita kemukakan sedikit tentang hak-hak tenaga
kesehatan khususnya para dokter. Adapun mengenai hak-hak dokter dapat
dikemukakan sbb : Hak untuk berkerja menurut standard profesi medis, hak
menolak untuk melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia
pertanggungjawabkan secara profesional, hak untuk menolak yang menurut suara
hatinya tidak baik, hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai
kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi, hak atas privacy dokter, hak
atas ikhtikat baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik
(penyembuhan), hak atas balas jasa, hak untuk membela diri dan hak memilih
pasien namun hak ini tidak mutlak sifatnya. Jadi disini dapat ditarik
kesimpulan bahwa Malapraktik erat hubungannya dengan pelanggaran terhadap
standard profesi medik, pelanggaran prosedure tindakan medik, dan bagi
pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut pidana dan diberi sanksi
administratif berupa pencabutan ijin praktik.
Contoh
kasus malpraktek :
Keluh kesah Prita Mulyasari,
seorang ibu rumah tangga dengan 2 (dua) orang anak yang masih batita (bawah tiga
tahun), terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit OMNI
Internasional, Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapat kesembuhan,
sebaliknya penyakitnya menjadi lebih parah dengan beberapa keluhan tambahan
yakni pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Lanjutnya Ibu Prita menemui
kejanggalan pada keterangan medisnya, dimana trombositnya yang semula 27.000
pada diagnosis pertama menderita demam berdarah, kemudian secara terpisah
dokter menginformasikan adanya “revisi” dimana trombosit Ibu Prita menjadi
181.000 dengan diagnosis virus udara dan gondongan.
Keterangan medis tersebut antara
lain, penjelasan medis tentang diagnosis Ibu Prita yang menderita demam
berdarah hingga perubahan diagnosis menderita gondongan dan virus udara
menular, harus dirawat dan dinfus serta diresepkan obat dengan dosis tinggi.
Konsekuensinya, Ibu Prita mengalami pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya
seperti lengan, leher, dan mata.
Email Prita tersebut
berjudul
“Penipuan Omni International
Hospital Alam Sutra Tanggerang”.
Sebagian kutipan tulisan
Prita dalam emailnya :
”Bila anda berobat,
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit dan titel international, karena
semakin mewah rumah sakit dan semakin pinter dokter, maka semakin sering uji
pasien, penjualan obat dan suntikan, saya tidak mengatakan semua rumah sakit
international seperti ini, tapi saya mengalami kejadian ini di Rumah Sakit OMNI
International”. (Tempo, Edisi 14 Juni 2009).
Email inilah yang kemudian
dijadikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri Tangerang
untuk menuntut Prita dengan delik pencemaran nama baik (penghinaan).
Ini merupakan pengabaian hak
konsumen atau pasien untuk mendapat pelayanan yang baik dari produsen atau
dokter, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Konsumen dan Undang-Undang
Praktek Kedokteran.
1. Penyimpangan Terhadap
Ketentuan Undang-Undang Konsumen dan Praktek Kedokteran Dalam kasus Prita,
telah jelas bahwa hak-haknya sebagai konsumen dan pasien dari rumah sakit OMNI
International Hospital telah terenggut misalnya hak untuk mendapat informasi
yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap pemeriksaan kondisi tubuhnya
(sakitnya), oleh karena pihak OMNI tidak memberikan respon positif saat Prita
menanyakan perihal penyakit Prita yang sebenarnya. Hal ini jelas merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan : ”Hak konsumen antara lain adalah hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa”. (Redaksi Sinar Grafika, 1999, hal.2). Prita yang mendapat berbagai
infus dan berbagai suntikan tanpa penjelasan dan izin dari Prita (pasien) atau
keluarga Prita (keluarga pasien) untuk apa hal itu dilakukan, bahkan ketika
Prita meminta keterangan perihal tujuan berbagai suntikan dan infus dimaksud,
tidak ada keterangan, penjelasan dan jawaban apapun, hal demikian jelas
merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3),
(4), (5) dan (6) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang
menyatakan :
(1) Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasienharus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara
lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana
dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara
tindakan medis,
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan,
c. Alternatif tindakan lain
dan resikonya,
d. Resiko dan kompilasi yang
mungkin terjadi.
(4) Persetujuan sebagaimana
dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata
cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) diatur dengan Peraturan Menteri. (IKAPI,
2004, hal.22-23).
Dari uraian
penyimpangan-penyimpangan di atas, jelas terbaca bahwa dalam kasus Prita para
aparat penegak hukum telah melakukan pelanggaran terhadap asas, dasar dan
kaidah hukum yang menyatakan ”lex superiori duroget lex inferiori”, dengan kata
lain bahwa hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
ada di atasnya. Tindakan dan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Prita
jelasjelas telah bertentangan dengan ketentuan hirarki perundang-undangan di Indonesia
yakni bertentangan dengan :
- Pancasila ; dan
- UUD 1945.
Kesimpulan yang dapat
ditarik dari uraian di atas antara lain adalah, kebebasan berpendapat dalam UUD
1945 pasal 28 secara kontekstual memang menjamin kebebasan berpendapat, akan
tetapi kedudukannya tidak cukup kuat untuk melindungi hak-hak ibu Prita ketika
mengungkapkan komplain dan keluhan terhadap pelayanan medis RS Omni
Internasional di Tangerang. Di sisi lain, pasal tertentu dalam UUD 1945 juga
menjamin hak-hak individu di dalamnya—staf dokter di rumah sakit bersangkutan.
Hal ini karena pasal-pasal dalam UUD 1945 diinterpretasi pada tiap individu
yang berbeda menjadi saling bertentangan dan tidak relevan. Beragam perspektif
yang terjadi seputar sidang kasus Ibu Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional
membentuk public opinion yang variatif,
beberapa secara penuh mendukung ibu Prita bebas dari segala tuduhan dan
menyalahkan sikap agresif RS Omni Internasional, dan sebaliknya.
Menteri Kesehatan (Menkes)
angkat bicara soal Prita Mulyasari (32) yang saat ini menjadi terdakwa kasus
pencemaran nama baik RS Omni International. Menurut Menkes, kasus ini
sebenarnya tidak akan terjadi jika pihak rumah sakit memberikan hasil tes
trombosit Prita.
"Etiknya, seorang
pasien punya hak untuk bertanya dan mempunyai hak untuk dijawab oleh dokter.
Pasien mempunyai hak untuk mengetahui hasil pemeriksaannya dan tindakan apa
yang dilakukan oleh dokter," ujar Siti Fadillah Supari dalam perbincangan
dengan detikcom via telepon, Kamis (4/6/2009).
Berikut hasil wawancara
lengkap detikcom dengan ahli jantung itu:
Bagaimana soal permintaan
Prita pada hasil lab trombosit 27.000 di RS Omni International?
"Selama ini UU-nya
belum ada. Tapi ada etiknya, artinya bahwa seseorang pasien punya hak untuk
bertanya dan mempunyai hak untuk dijawab oleh dokter. Pasien mempunyai hak
untuk mengetahui hasil pemeriksaannya, dan tindakan apa yang dilakukan oleh
dokter, itu etik. Tetapi belum ada UU yang mengatur. Saya sedang bikin UU yang
cukup lengkap untuk melindungi hak-hak pasien dan dokter, maupun rumah sakit.
Sekarang perkembangan RUU
tersebut bagaimana?
Sekarang sedang digodok di
DPR. Mudah-mudahan akhir 2009, RUU Perumahsakitan bisa segera disahkan oleh
DPR. Ini untuk menjaga hak pasien. Pasien punya hak. Tapi pada suatu saat jika
pasien punya keluhan seharusnya ada jalurnya, dengan MKKI (Majelis Kehormatan
Kedokteran Indonesia), apa ke polisilah. Pengaduan itu kan bukan ke detikcom.
Tetapi ke jalur yang betul, kalau ada yang tidak terima.
Tindakan RS Omni apa bisa
dikatakan malpraktek?
Apa malpraktek atau tidak,
saya belum bisa jawab. Jadi harus didorong, DPR tolong dong itu lindungi hak
pasien dan dokter dan RS yang tiba-tiba merasa disudutkan.
RS adalah suatu lembaga atau
usaha yang padat modal dan padat karya. Kalau misalkan sampai ulah dari satu
orang bisa menyebabkan RS bangkrut atau tutup hanya karena satu tuduhan yang
tidak terbukti, kan disayangkan. Rumah sakit kan menanggung beberapa ratus
karyawan. Kalau dokter masih bisa praktek di tempat lain, suster juga bisa.
Tapi ada berapa ratus karyawan lain dan ratusan anak-anaknya. Semua punya hak.
Kemudian digodok oleh DPR
dan keluarlah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar