BAB
I PENDAHULUAN
Ketika kesetimbangan neraca
air suatu daerah terganggu, maka terjadi pergeseran pada siklus hidrologi yang
terdapat di daerah tersebut. Pergeseran tersebut dapat terjadi dalam bentuk
peningkatan dan pengurangan pada salah satu subsistemnya. Air tanah merupakan
subsitem dari siklus hidrologi yang terdapat di bawah permukaan bumi.
Terganggunya subsistem air tanah di suatu daerah akan mengakibatkan menurunnya
kuantitas dan kualitas air tanah di daerah tersebut, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan penurunan kualitas dam kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Proses pengambilan air tanah
yang intensif di cekungan air tanah di Jakarta telah mengakibatkan penurunan
muka air tanah secara drastis, yang mengakibatkan kerusakan susulan berupa
amblesan tanah akibat turunnya daya dukung tanah oleh penurunan karakteristik
kekuatan mekanik tanahnya, penurunan muka air sungaipada musim kemarau, potensi
terjadinya intrusi air laut. Sehingga diperlukan adanya keterpaduan dalam
pengelolaan air tanah dan partisipasi berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholder) untuk melakukan konservasi sumberdaya air tanah yang terdapat di
kedua cekungan air tanah di kedua tempat ini. Secara nasional maka perlu dilakukan
pembuatan peraturan pemerintah tentang cekungan air tanah yang terdapat di
seluruh pelosok Indonesia.
1.
LATAR BELAKANG
Air terbagi atas dua jenis
yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan terdapat sebagai air sungai,
kolam, telaga dan danau, yang secara umum terdapat dipermukaan bumi. Sedang air
tanah terdiri atas air tanah dangkal dan air tanah dalam, yang masing-masing
memiliki karakteristiknya sendiri. Kedua jenis air ini dipisahkan dengan adanya
lapisan impermeabel antara keduanya. Namun antara keduanya terkadang saling
berinteraksi karena adanya kebocoran yang terjadi secara alamiah pada batas
tersebut.
Peningkatan kebutuhan air
bagi berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan
perekonomian seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai
sektor dapat berdampak positip dan negatif bagi kuantitas dan kualitas
sumberdaya air yang ada. Dampak positif timbul dari peningkatan kuantitas
sumberdaya air akibat adanya kegiatan penyediaan sarana dan prasarana yang
diperlukan manusia seperti pembangunan dam, bendungan dan sebagainya. Di sisi
lain, berbagai kegiatan manusia ini juga berdampak negatif pada sumberdaya air
yang ada seperti pencemaran, penurunan muka air tanah, penuruan permukaan tanah
(amblesan atau subsidence) yang ditimbulkan pengambilan kuantitas air yang
tidak memperhatikan siklus hidrologi yang ada, dan sebagainya.
Akibat adanya hubungan
timbal balik dan interaksi antara manusia dan sumberdaya air yang ada dan
lingkungan lainnya. Maka penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang
ada juga akan mengakibatkan kemerosotan dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Akumulasi interkasi berbagai kerusakan sumber air yang ada pada akhirnya
kemudia menimbulkan bencana pada kehidupan manusia itu sendiri. Berbagai
peristiwa bencana alam seperti banjir, longsor, penurunan muka air tanah,
amblesan, intrusi air laut yang terjadi di pelosok tanah air, sebetulnya
bukanlah merupakan bencana alam belaka, melainkan akibat kerusakan yang
ditimbulkan manusia itu sendiri yang secara tidak langsung kemudian akan
menurunkan tingkat kualitas hidup mereka.
Selain itu penurunan fungsi
sarana dan prasarana bangunan yang dipergunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat seperti berbagai bendungan yang diperuntukan bagi peningkatan
kuantitas sumber air dan pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat telah
terancam oleh adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi pada
bendungan-bendungan tersebut sehingga akan mempengaruhi usia pakai dan
kegunaannya. Peningkatan sedimentasi terjadi akibat adanya peningkatan erosi
oleh adanya kerusakan lahan dan vegetasi di bagian hulu sungai yang merupakan
konservasi sumberdaya air bagi daerah aliran sungai yang ada. Sementara itu,
pada umumnya kerusakan ditimbulkan oleh adanya tekanan hidup yang dialami oleh
para penduduk terhadap sumberdaya lahan dan kawasan yang terdapat di daerah
tersebut. Reaksi berantainya yang kemudian terjadi adalah timbulnya
bencana-bencana longsor di daerah daerah yang telah mengalami
kerusakan-kerusakan tersebut.
Hasil inventarisasi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dep. ESDM), di Indonesia terdapat
423 cekungan air tanah (Dwiyanto, 2006), dengan potensi air tanah mencapai
sekitar 518 miliar m3/ tahun. Adanya potensi air tanah tersebut dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemenuhan kebutuhan akan air bersih
bagi masyarakat.
2.
TINJAUAN UMUM
Potensi air tanah di
Indonesia terdapat pada 396 (Said, HD, 2005) cekungan Air Tanah, yaitu 88
cekungan di Jawa, 27 di Sumatera, 18 di Kalimantan, 82 di Sulawesi, 42 di Bali,
42 di NTT, 9 di NTB, 69 di Maluku, dan 47 di Papua. Dari sejumlah cekungan
tersebut baru beberapa cekungan saja yang dipetakan secara terperinci.
Sementara itu berdasarkan peraturan Permen PU No.397 1989 tetntang pembagian
wilayah sungai, maka dari 90 wilayah sungai terdapat 15 wilayah sungai lintas
provinsi, 73 wilayah sungai dalam satu propinsi dan 2 wilayah sungai yang
dikelola oleh BUMN.
Berdasarkan UU no 7 tahun
2004, maka visi pengelolaan sumberdaya air adalah terwujudnya kemanfaatan
sumber daya air berkelanjutan yang sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat (pasal
3). Sedang misinya adalah melakukan konservasi Sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air (penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan). Pengendalian dan
penanggulangan daya rusak air, Pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat,
dunia usaha, dan pemerintah. Dan terakhir peningkatan ketersediaan dan keterbukaan
data dan informasi SDA.
Pada UU tersebut di atas
disebutkan bahwa air tanah yang merupakan sumberdaya alam yang terbatas,
kerusakannya sulit dipulihkan, dan bahwasannya pendayagunaan sumber daya air
harus mengutamakan air permukaan. Hal tersebut menjadi dasar penyusunan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan air tanah, yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.
Dampak-dampak negatif yang
ditimbulkan oleh adanya perubahan pada siklus hidrologi di sutau daerah yang
akan berdampak pada neraca airnya dapat berupa penurunan muka airtanah (MAT),
yang mengakibatkan semakin sulitnya memperoleh airtanah, intrusi air asin di
daerah yang berbatasan dengan pantai, dan amblesan tanah (land subsidence).
Hal-hal ini sebetulnya dapat dicegah, bahkan dapat diperbaiki, apabila
dilakukan perencanaan dan pengawasan yang baik dalam melakukan pengelolaan
sumberdaya air yang ada dengan memperhatikan siklus hidrologi, neraca air,
kebutuhan air untuk air bersih, pertanian dan industri, serta langkah-kangkah
yang yang harus diambil oleh semua pihak dalam upaya untuk melakukan konservasi
terhadap sumberdaya yang ada. Dalam pengelolaan ini, maka pemodelan airtanah
sangat membantu pihak regulator, yaitu pemerintah pusat, provinsi, atau
kabupaten/kota, sesuai dengan wewenang masing-masing.
2.1. Sumberdaya air tanah mempunyai peran cukup penting sbg. pasokan
air untuk berbagai sektor pembangunan, a.l. :
-
Air minum perkotaan / pedesaan
-
Air Industri
-
Air Irigasi, dll.
2.2. Data pemanfaatan air tanah
-
Air minum perkotaan / pedesaan - 70 %
-
Industri 90 %
-
Airtanah yang sebelumnya dianggap sebagai
barang bebas yang dapat dimanfaatkan tanpa batas telah berubah menjadi barang
komoditi ekonomis,bahkan sudah dapat digolongkan sebagai barang strategis.
2.3. Keunggulan sumberdaya air tanah
•
Secara Hygienis lebih sehat karena telah mengalami
proses filtrasi secara alamiah.
•
Cadangan relatif tetap sepanjang tahun.
•
Mutu relatif tetap.
•
Apabila airtanah tersedia, dapat diperoleh di
tempat tsb. tanpa peralatan mahal.
2.4. Kekurangan sumberdaya air tanah
•
Terdapat di bawah permukaan tanah, untuk
pemanfaatannya harus dilakukan dengan membuat sumur gali / bor.
•
Keterdapatan tidak merata pada setiap tempat.
•
Cadangannya terbatas, untuk keperluan air
minum perkotaan atau air irigasi /industri yang cukup besar, mungkin cadangan
tidak mencukupi.
2.5. Air minum Pedesaan
•
80 % penduduk Indonesia tinggal di desa
•
Diperkirakan baru ± 35 % dari penduduk
pedesaan mendapat air bersih dan sehat.
•
Pemanfaatan airtanah u. pedesaan ± 70 %
2.6. Air minum dan Industri Perkotaan
•
Karena tingkat dan taraf kehidupan masyarakat
yang lebih tinggi ⇒
kebutuhan air
·
lebih tinggi dibanding dengan daerah
pedesaan.
·
Daerah Kota kebutuhan air : ± 200
liter/orang/hari, beberapa kota besar telah mencapai 400 liter/orang/hari
·
Daerah Pedesaan kebutuhan air : ± 60
liter/orang/hari
•
Daerah-daerah perkotaan besar seperti, Medan,
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang ⇒ kebutuhan air masih
mengandalkan pasokan dari air tanah.
2.7. Air Irigasi
•
Dalam upaya swasembada pangan, pemerintah
sejak awal 1970 melalui P2AT, melaksanakan kegiatan penyelidikan dan eksplorasi
airtanah di berbagai daerah di propinsi Jawa Timur.
•
Hingga akhir 1990, pengembangan airtanah
untuk irigasi di Jawa Timur tercapai 24.400 ha;
•
Pengembangan airtanah untuk irigasi
dikembangkan di Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Sulawesi Utara.
BAB
II. PEMBAHASAN
1.
DAMPAK NEGATIVE PENGGUNAAN AIR TANAH YANG BERLEBIHAN DI JAKARTA.
Pada kenyataannya
pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih
mengandalkan airtanah secara berlebih ⇒
menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya airtanah maupun lingkungan,
antara lain :
1.
Penurunan muka air tanah
2.
Intrusi air laut
3.
Amblesan tanah
Amblesnya Jakarta yang
ditandai dengan miringnya gedung-gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan
rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis pengambilan
air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin besarnya beban tanah
akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.
Di Jakarta, layanan air
leding perpipaan belum mampu melayani seluruh penduduk. Hal ini membuat
sebagian besar penduduk Jakarta bergantung pada penggunaan air tanah untuk
kebutuhan sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam jumlah
besar.Pada saat yang bersamaan, pembangunan hotel mewah, apartemen, dan pusat
perbelanjaan terus berlangsung. Makin banyaknya gedung besar ini secara masif
menambah beban pada tanah. Kombinasi dua hal tersebut saling menunjang
menciptakan ruang kosong di Bumi yang membuat tanah ambles.
Tahun 2008, saat beberapa
bagian gedung BPPT, Sarinah, Menara Eksekutif, ambles, para ahli telah
mengingatkan bahwa itu terjadi karena proses dewatering atau pengurasan air
bawah tanah dalam jumlah besar yang tidak hati-hati serta besarnya penekanan
permukaan tanah akibat pembangunan gedung-gedung pencakar langit.
Penggunaan air tanah Jakarta
memang besar. Data resmi untuk pemakaian komersial menurut Dinas Pelayanan
Pajak adalah 22 juta meter kubik per tahun. Biasanya penggunaan komersial
adalah 30 persen dari penggunaan domestik. Dengan demikian, hitungan kasar
total pemanfaatan air tanah Jakarta 73 juta meter kubik per tahun. Akan tetapi,
penghitungan berdasar jumlah penduduk yang 9 juta orang, rata-rata kebutuhan
air dan kemampuan layanan PT Palyja dan PT Aetra, maka angka minimal
pemanfaatan air tanah yang muncul adalah 270 juta meter kubik per tahun, jauh
di atas batas pengambilan aman, yaitu 60 juta meter kubik per tahun.
Gap yang besar ini mungkin
terjadi karena pengawasan air tanah masih sangat minimal. Jumlah aparat yang
bertugas mengawasi dapat dihitung dengan jari, sementara pemanfaat komersial
sudah ribuan jumlahnya. Di sisi lain, pengawasan dari masyarakat sangat sulit
dilakukan karena data pemanfaat komersial air tanah tertutup rapat.
1.1 Cekungan Air Tanah Jakarta
Muka air tanah cekungan
Jakarta terus mengalami perubahan sesuai dengan berjalannya waktu. Hasil studi
yang dilakukan oleh BIT GTL & Dinas Pertambangan DKI Jakarta, 1994)
menunjukkan kedudukan muka air tanah untuk berbagai akuifer dapat diuraikan
sebagi berikut:
1.1.1. Akuifer air tanah tak
tertekan (<40 m)
Pengambilan air tanah,
khususnya airtanah dalam (deep groundwater) dari sumur bor yang terdaftar
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat :
• 1985 dengan jumlah pengambilan airtanah sekitar 30 juta
m3/tahun,
• 1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640
sumur,
• 1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari
sekitar 2800 sumur,
• 1994, pengambilan airtanah telah mencapai 33,8 juta m3.
Jumlah pengambilan airtanah
yang sebenarnya relatif jauh lebih besar dari angka-angka tersebut di atas,
karena masih banyaknya sumur-sumur produksi yang belum terdaftar. Berdasarkan
hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan airtanah pada 1994 diperkirakan
telah mencapai sekitar 53 juta m3.
-Muka airtanah pada sistem
akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan kecenderungan turun selama
periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan pada pemantauan
>2 tahun (periode panjang) antara 0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun
(Kuningan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun
(Cibinong). Pada periode 1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun
(Cibinong) dan 4,44 m/tahun (Cilandak).
- Pola perubahan muka air
tanah pada sistem akuifer tidak tertekan dipengaruhi oleh pola curah hujan di
daerah sekitarnya. Pada saat berlangsungnya musim penghujan, muka airtanah
umumnya cenderung naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan
muka airtanah secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat
musim kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan, pasar Rebo dan
Cilandak, perubahan muka air tanah sangat terkait dengan pola pemompaan di
sekitar lokasi pemantauan.
Akuifer air tanah tak
tertekan mempunyai kedudukan muka alami (1956) sekitar 5 m (aml), yang kemudian
turun menjadi 2,49 m (bml) pada tahun 1992. Pada tahun 1994 muka air tanah
mengalami penurunan terdalam yang mencapai 3,48 - 3,50 m (bml), sedangkan hasil
studi 1996 menunjukkan penurunan antara 01,0-4,35 m (bml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang
berjarak antara 3,0-11,0 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis
hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995), menunjukkan bahwa
akuifernya, memiliki hubungan dengan air laut dan tidak memperlihatkan terjadinya
proses intrusi air laut. Proses yang terjadi adalah proses pencucian karena
tipe air tanahnya adalah Natrium Bikoarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil
analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 10,318 ± 13,639
tahun.
1.1.2. Akuifer air tanah
tertekan atas (40-140 m)
Pada sistem akuifer ini,
gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2 hanya terjadi di Tongkol
(0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks PAM Darmawangsa (0,24
m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatanpenurunan muka airtanah selama
periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan
(kompleks Jakarta Land), sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81
m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan muka airtanah di
wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun (Walang Baru
dan kompleks Hotel Borobudur) dan 3,96 m/tahun (Senayan), sedangkan di luar
wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di Teluk Pucung.
Perubahan muka airtanah yang
didominasi oleh gejala penurunan, berkaitan dengan pola Qabs di daerahs
sekitarnya, yaitu pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai
dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Meskipun di beberapa lokasi pemantauan
menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan, terutama
gejala penurunan muka airtanah yang terjadi pada saat musim kemarau, namun
karena kedudukan lapisan akuifer tertekan tengah cukup dalam, maka diduga tidak
ada pengaruh yang berarti dari curah hujan, kecuali terjadi kebocoran pada
konstruksi sumur.
Akuifer air tanah tertekan
atas (40-140 m) memiliki kedudukan muka air tanah dalam (1956) antara 1 - 10 m
(ami), dan mengalami penurunan kembali pada tahun 1992 menjadi 18,64 - 35,50 m
(bml). Dan pada tahun 1994 muka air tanah turun kembali menjadi 31,78 - 56,90 m
(bml). Sedangkan hasil studi 1995 memperlihatkan bahwa mat nya telah mengalami
kenaikan antara 12,70 - 52,98 m (nml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran
yang berjarak antara 1,5 - 7,5 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan
analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995) memperlihatkan
bahwa akuifernya tidak memiliki hubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi
adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat
(umumnya air tanah tua). Hasil analisis isotop memperlihatkan bahwa umur
rata-rata air tanahnya adalah 17.500 s/d 22.006 tahun.
1.1.3. Akuifer air tanah
tertekan bawah (>140 m)
Pola muka airtanah pada
periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala penurunan pada semua lokasi
pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka airtanah terjadi di kompleks DPRD
Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan
penurunan muka airtanah pada periode >2 tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter)
dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara selama periode 1994 kecepatan penurunan
antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan 4,70 m/tahun (kompleks PT BASF). Pola
perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah berhubungan erat
dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola perubahan pada periode
Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI
Jakarta. Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan
untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada
Peta Konservasi Airtanah Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada
sistem akuifer tertekan (dalam) pada periode 1994 masih didominasi oleh
kecenderungan penurunan. Gejala yang mengarah pada pemulihan kedudukan muka
airtanah, ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem
akuifer tertekan atas), kompleks DPRD Kebon Sirih dan
Cengkareng Pedongkelan
(akuifer tertekan bawah). Tetapi hasil pemantauan periode panjang (>2 tahun)
masih menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi pemantauan termasuk di tiga
lokasi pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol
terhadap jumlah pengambilan airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih
belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Akuifer air tanah tertekan
bawah memiliki kedudukan mat alami (1956) sekitar 2 m (negatif), yang kemudian
mengalami penurunan menjadi 22,0-33,90 m (bml). Selama tahun 1994 terus terjadi
penurunan mat menjadi 40,0-51,40 m (bml), sedangkan hasil studi 1995
menunjukkan bahwa akiufernya tidak berhubungan dengan air laut, tetapi yang
terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium
Bikarbonat. Hasil analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya
adalah 17,172 tahun s/ d 32,58 tahun.
Adanya data air tanah
akuifer tertekan atas (40-140 m) yang bersifat payau ternyata berada di tepi
kali Grogor, Sunter dan Cakung, sehingga pencemaran air payau ke dalam akifer
tesebut adalah melalui mekanisme pasang naik air laut yang masuk ke dalam
aliran air sungai dan mencemari air tanah dangkalnya. Air tanah payau ini akan
menyebabkan rusaknya pipa sumur bor dalam yang selanjutnya akan mengakibatkan
pipa menjadi keropos dan bocor, dan akhirnya mencemari air tanah tertekan atas
(Distam DKI Jakarta &DitGTL, 1995).
Air garam yang berada dalam
akuifer tertekan dapat pula merupakan air tanah tua (Distam DKI Jakarta &
GT, 1966) karena lingkungan pengendapan akuifer adalah pengendapan fluviatil
serta laut (Hehanusa & Djoehanah, 1983 dan Distam DKI Jakarta & P3G
1995).
2.
ANALISA
Pengambilan air tanah yang
berlebihan telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan seperti
penurunan muka air tanah, intrusi air laut, penurunan muka air sungai pada
musim kemarau dan amblesan tanah. Hal ini tidak akan terjadi apabila dilakukan kegiatan
konservasi air tanah untuk menjaga kelestarian, kesinambungan ketersediaan,
daya dukung, fungsi air tanah, serta mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan air
tanah.
Pemerintah Jawa Barat dalam
rangka konservasi air tanah ini telah membuat perda yang diperlukan dalam
langkah konservasi ini, yaitu Perda No 16 tahun 2001 tentang pengelolaan Air
Bawah Tanah dan Perda No 6 tahun 2001 tentang pajak pengambilan dan pemanfaatan
air bawah tanah dan air permukaan. Dalam kebijakan operasionalnya, strategi yang
ditempuh adalah :
1. Zona
kritis dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 8 % per tahun
2. Zona
rawan dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 5 % per tahun
3. Penambahan
resapan air ke dalam tanah sebesar 4 % per tahun
4. Melakukan
berbagai upaya substitusi dengan air permukaan
5. Mengatur
sebaran titik pengambilan air tanah berdasarkan kapasitas optimum akifer guna
menghindari terbentuknya zona kritis dan rawan
Sedang kegiatan operasional,
sebagai implementasi strategi diatas, dilakukan langkah sebagai berikut:
1. Pengurangan
debit melalui syarat teknis Daftar Ulang Ijin Pengambilan Air Tanah (SIPA)
2. Penertiban
pengambilan air tanah
3. Sosialisasi
upaya pengehematan dan konservasi air tanah
4. Koordinasi
dan Kerjasama antara stakeholder terkait
Langkah-langkah serupa di
atas, telah dilakukan juga oleh Pemerintah DKI Jakarta. Seiring dengan semakin
meningkatknya kebutuhan air bersih di Indonesia dengan mempertimbangkan
konservasi air tanah, maka dalam dekade mendatang tidak akan terjadi bencana nasional.
Dalam skala kecil,
peningkatan kualitas hidup tersebut akan terjadi, dan juga keseimbangan sektor
lainnya. Berbagai peraturan telah dibuat berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya air di Indonesia. Begitu pula halnya dengan instansi yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tanah menjadi wewenang
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sedangkan Pengelolaan air permukaan
menjadi wewenang Departemen Kimpraswil. Sedangkan wewenang regulasi pengelolaan
kualitas air permukaan dan tanah dalam berbagai kegiatan ekonomi dan
kemasyarakatan terdapat pada kementrian negara Lingkungan Hidup.
Dalam penyelamatan air tanah
untuk melakukan konservasi dan pengendalian air tanah demi menjaga
kesinambungan ketersediaan air tanah dan menjamin keberlangsungan
pemanfaatannya, maka beberapa kegiatan telah dilakukan oleh pemerintah, antara
lain :
1. Menentukan
cekungan air tanah..
2. Pemantauan
perubahan kuantitas dan kualitas serta lingkungan air tanah
3. Penentuan
daerah imbuhan (non budidaya) dan daerah lepasan (budidaya)
4. Penetapan
daerah perlindungan air tanah (zona aman, rawan, kritis, dan rusak)
5. Pemberdayaan
masyarakat di bidang konservasi air tanah
6. Penetapan
kebijakan dan pengaturan air tanah
7. Pengawasan
pelaksanaan penyelenggaraan konservasi air tanah.
BAB
III. KESIMPULAN DAN SARAN
1. pemanfaatan
air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih mengandalkan air tanah
secara berlebih menimbulkan dampak negative terhadap
sumberdaya air tanah maupun lingkungan yaitu Penurunan muka air tanah,Intrusi air
laut, dan Amblesan tanah
2. Amblesnya
Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung bertingkat, amblesan
tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi
logis pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin
besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan
lapisan tanah
3. Ketidakseimbangan
siklus hidrologi yang terdapat di suatu daerah telah mengakibatkan terganggunya
susbsitem air tanah yang berada di dalamnya, sehingga mengakibatkan dampak
negatif yang tidak diinginkan seperti, penurunan muka air tanah, penurunan muka
air sungai pada musim kemarau, amblesan, dan intrusi airlaut.
4. Peraturan
tentang Cekungan Air Tanah sementara ini baru untuk P Jawa, untuk daerah
lainnya belum ada, sehingga hal ini harus lebih ditingkatkan lagi secara
bertahap.
5. Harus
ada keterpaduan dan integrasi antara air tanah yang terletak dalam satu
cekungan air tanah namun terletak pada pada wilayah sungai yang berbeda dalam
pengelolaan sumberdaya air yang hendak dilakukan.
6. Dalam
upaya konservasi air tanah, maka perlu dilakukan menjaga keberlangsungan
pengisian atau peresapan air dari sumber air permukaan atau hujan yang terdapat
di setiap WS melalui Pelestarian Kawasan Resapan Air, dan Pengisian Air Kembali
kedalam tanah (artificial recharge),
7. Pemantauan
penurunan muka air tanah pada setiap CAT perlu dilakukan untuk mengetahui
dampaknya terhadap land subsidence dan potensi intrusi air laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar