28 Apr 2013

Pengelolaan Secara Kimia Terhadap Limbah Cair Domestik

BAB I
 PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
II.        PENGELOLAAN LIMBAH CAIR NON B3
Metode dan tahapan proses pengolahan air buangan domestic yang telah dikembangkan sangat beragam. Proses pengolahan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan atau faktor finansial.
1.      Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan secara fisika.
a.       Penyaringan (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring menggunakan jeruji saring. Metode ini disebut penyaringan.  Metode penyaringan merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat berukuran besar dari air limbah.
b.      Pengolahan Awal  (Pretreatment)
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu tangki atau bak yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi lain yang berukuran relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit chamber dan cara kerjanya adalah dengan memperlambat aliran limbah sehingga partikel – partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah terus dialirkan untuk proses selanjutnya.
c.       Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke tangki atau bak pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan utama dan yang paling banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah cair. Di tangki pengendapan, limbah cair didiamkan agar partikel – partikel padat yang tersuspensi dalam air limbah dapat mengendap ke dasar tangki. Enadapn partikel tersebut akan membentuk lumpur yang kemudian akan dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut. Selain metode pengendapan, dikenal juga metode pengapungan (Floation)
d.      Pengapungan (Floation)
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak atau lemak. Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat menghasilkan gelembung- gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120 mikron). Gelembung udara tersebut akan membawa partikel –partikel minyak dan lemak ke permukaan air limbah sehingga kemudian dapat disingkirkan. 
Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan melalui proses pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami proses pengolahan primer tersebut dapat langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun, bila limbah tersebut juga mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan melalui proses tersebut, misalnya agen penyebab penyakit atau senyawa organik dan anorganik terlarut, maka limbah tersebut perlu disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya.
2.      Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara biologis, yaitu dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat mengurai/ mendegradasi bahan organik. Mikroorganisme yang digunakan umumnya adalah bakteri aerob.
Terdapat tiga metode pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu metode penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode lumpur aktif (activated sludge), dan metode kolam perlakuan (treatment ponds / lagoons) .
a.       Metode Trickling Filter
Pada metode ini, bakteri aerob yang digunakan untuk mendegradasi bahan organik melekat dan tumbuh pada suatu lapisan media kasar, biasanya berupa serpihan batu atau plastik, dengan dengan ketebalan  ± 1 – 3 m. limbah cair kemudian disemprotkan ke permukaan media dan dibiarkan merembes melewati media tersebut. Selama proses perembesan, bahan organik yang terkandung dalam limbah akan didegradasi oleh bakteri aerob. Setelah merembes sampai ke dasar lapisan media, limbah akan menetes ke suatu wadah penampung dan kemudian disalurkan ke tangki pengendapan.
Dalam tangki pengendapan, limbah kembali mengalami proses pengendapan untuk memisahkan partikel padat tersuspensi dan mikroorganisme dari air limbah. Endapan yang terbentuk akan mengalami proses pengolahan limbah lebih lanjut, sedangkan air limbah akan dibuang ke lingkungan atau disalurkan ke proses pengolahan selanjutnya jika masih diperlukan
b.      Metode Activated Sludge
Pada metode activated sludge atau lumpur aktif, limbah cair disalurkan ke sebuah tangki dan didalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri aerob. Proses degradasi berlangsung didalam tangki tersebut selama beberapa jam, dibantu dengan pemberian gelembung udara aerasi (pemberian oksigen). Aerasi dapat mempercepat kerja bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah disalurkan ke tangki pengendapan untuk mengalami proses pengendapan, sementara lumpur yang mengandung bakteri disalurkan kembali ke tangki aerasi. Seperti pada metode trickling filter, limbah yang telah melalui proses ini dapat dibuang ke lingkungan atau diproses lebih lanjut jika masih dperlukan.


c.       Metode Treatment ponds/ Lagoons
Metode treatment ponds/lagoons atau kolam perlakuan merupakan metode yang murah namun prosesnya berlangsung relatif lambat. Pada metode ini, limbah cair ditempatkan dalam kolam-kolam terbuka. Algae yang tumbuh dipermukaan kolam akan berfotosintesis menghasilkan oksigen. Oksigen tersebut kemudian digunakan oleh bakteri aero untuk proses penguraian/degradasi bahan organik dalam limbah. Pada metode ini, terkadang kolam juga diaerasi. Selama proses degradasi di kolam, limbah juga akan mengalami proses pengendapan. Setelah limbah terdegradasi dan terbentuk endapan didasar kolam, air limbah dapat disalurka untuk dibuang ke lingkungan atau diolah lebih lanjut.
3.      Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)
Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan sekunder masih terdapat zat tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat. Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya pengolahan ini disesuaikan dengan kandungan zat yang tersisa dalam limbah cair / air limbah. Umunya zat yang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya melalui proses pengolahan primer maupun sekunder adalah zat-zat anorganik terlarut, seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman.
Pengolahan tersier sering disebut juga pengolahan lanjutan (advanced treatment). Pengolahan ini meliputi berbagai rangkaian proses kimia dan fisika. Contoh metode pengolahan tersier yang dapat digunakan adalah metode saringan pasir, saringan multimedia, precoal filter, microstaining, vacum filter, penyerapan dengan karbon aktif, pengurangan besi dan mangan, dan osmosis bolak-balik.
Metode pengolahan tersier jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan limbah. Hal ini disebabkan biaya yang diperlukan untuk melakukan proses pengolahan tersier cenderung tinggi sehingga tidak ekonomis. 
4.      Desinfeksi (Desinfection)
Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau mengurangi mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair. Meknisme desinfeksi dapat secara kimia, yaitu dengan menambahkan senyawa/zat tertentu, atau dengan perlakuan fisik. Dalam menentukan senyawa untuk membunuh mikroorganisme, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a.       Daya racun zat
b.      Waktu kontak yang diperlukan
c.       Efektivitas zat
d.      Kadar dosis yang digunakan
e.       Tidak boleh bersifat toksik terhadap manusia dan hewan
f.       Tahan terhadap air
g.      Biayanya murah
Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan klorin (klorinasi), penyinaran dengan ultraviolet(UV), atau dengan ozon (Oз).Proses desinfeksi pada limbah cair biasanya dilakukan setelah proses pengolahan limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau tersier, sebelum limbah dibuang ke lingkungan.
5.      Pengolahan Lumpur (Slude Treatment)
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier, akan menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat dibuang secara langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur hasil pengolahan limbah biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara aerob (anaerob digestion), kemudian disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu dibuang ke laut atau ke lahan pembuangan (landfill), dijadikan pupuk kompos, atau dibakar (incinerated).


BAB II.           PEMBAHASAN
1.         PENGOLAHAN SECARA KIMIA
Proses pengolahan berdasarkan karakteristik air limbah secara proses kimia yaitu
1.         Pengendapan dengan bahan kimia
2.         Pengolahaan dengan logoon atau kolam
3.         Netralisasi
4.         Pengumpalan atau koagulasi
5.         Sedimentasi (misalnya dengan discrete settling, floculant settling, zone settling)
6.         Oksidasi reduksi
7.         Klorinasi
8.         Penghilangan klor (misalnya menggunakan carbon aktif atau natrium sulfat)
9.         Pembuangan fenol
10.       Pembuangan sulfur

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan.  Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi.


 Koagulasi dan flokulasi




Gambar 2.  Skema Diagram pengolahan Kimiawi
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit.  Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5.  Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya  dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida.
Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia.
2.         PENGUMPALAN ATAU KOAGULASI DENGAN ALUMINIUM SULFAT.
Koagulasi dan flokulasi merupakan suatu proses penambahan senyawa kimia yang bertujuan untuk membentuk flok yang ditambahkan kedalam air atau limbah untuk menggabungkan partikel yang sulit mengendap dengan partikel lainnya sehingga memiliki kecepatan mengendap yang lebih cepat. Flok yang terbentuk akan disisihkan dengan cara sedimentasi. Koagulasi merupakan proses penambahan koagulan dan pengadukan cepat air yang diberi koagulan. Hasil dari proses koagulasi ini adalah destabilisasi partikel/koloid dan partikel-partikel halus lainnya yang terdapat dalam air. Flokulasi adalah proses pengadukan lambat terhadap partikel yang terdestabilisai dan membentuk pengendapan flok dengan cepat. Keberlangsungan proses flokulasi diukur dari distribusi ukuran flok dan struktur flok (Gurses, 2003). Efisiensi pemisahan padatan dalam proses koagulasi tergantung pada kondisi kimia, kimia-fisika, dan hidrodinamika selama pengadukan dan pergerakan flok. Faktor ini ditentukan oleh struktur dari agregat, berat jenis, dan kekuatan dari flok itu sendiri (Bottero dkk, 1989).
Koagulan yang paling umum digunakan adalah koagulan yang berupa garam logam, seperti aluminium sulfat, ferri klorida, dan ferri sulfat. Polimer sintetik juga sering digunakan sebagai koagulan. Efisiensi proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, temperatur,alkalinitas, jenis koagulan dan intensitas pengadukan (Lee dkk, 2008)
Pada penggunaan aluminium sulfat sebagai koagulan, air baku harus memiliki alkalinitas yang memadai untuk bereaksi dengan aluminium sulfat menghasilkan flok hidroksida. Umumnya, pada rentang pH dimana proses koagulasi terjadi alkalinitas yang terdapat dalam bentuk ion bikarbonat. Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok adalah sebagai berikut:
Al2(SO4)3 + 14 H2O + 3Ca(HCO3)2 _ 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O + 6CO2
Apabila air baku tidak mengandung alkalinitas yang memadai, maka harus dilakukan penambahan alkalinitas. Umumnya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida diperoleh dengan cara menambahkan kalsium hidroksida, sehingga persamaan reaksi koagulasinya menjadi sebagai berikut :
Al2(SO4)3 + 14 H2O + 3Ca(HCO3)2 _ 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O
Rentang pH optimum untuk alum adalah 4.5 sampai dengan 8.0, karena aluminium hidroksida relatif tidak larut pada rentang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar