28 Apr 2013

Contoh Kasus Masalah AirYang Timbul Akibat Pengambilan Air Berlebihan


BAB I PENDAHULUAN
Ketika kesetimbangan neraca air suatu daerah terganggu, maka terjadi pergeseran pada siklus hidrologi yang terdapat di daerah tersebut. Pergeseran tersebut dapat terjadi dalam bentuk peningkatan dan pengurangan pada salah satu subsistemnya. Air tanah merupakan subsitem dari siklus hidrologi yang terdapat di bawah permukaan bumi. Terganggunya subsistem air tanah di suatu daerah akan mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas air tanah di daerah tersebut, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kualitas dam kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Proses pengambilan air tanah yang intensif di cekungan air tanah di Jakarta telah mengakibatkan penurunan muka air tanah secara drastis, yang mengakibatkan kerusakan susulan berupa amblesan tanah akibat turunnya daya dukung tanah oleh penurunan karakteristik kekuatan mekanik tanahnya, penurunan muka air sungaipada musim kemarau, potensi terjadinya intrusi air laut. Sehingga diperlukan adanya keterpaduan dalam pengelolaan air tanah dan partisipasi berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk melakukan konservasi sumberdaya air tanah yang terdapat di kedua cekungan air tanah di kedua tempat ini. Secara nasional maka perlu dilakukan pembuatan peraturan pemerintah tentang cekungan air tanah yang terdapat di seluruh pelosok Indonesia.

1. LATAR BELAKANG
Air terbagi atas dua jenis yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan terdapat sebagai air sungai, kolam, telaga dan danau, yang secara umum terdapat dipermukaan bumi. Sedang air tanah terdiri atas air tanah dangkal dan air tanah dalam, yang masing-masing memiliki karakteristiknya sendiri. Kedua jenis air ini dipisahkan dengan adanya lapisan impermeabel antara keduanya. Namun antara keduanya terkadang saling berinteraksi karena adanya kebocoran yang terjadi secara alamiah pada batas tersebut.
Peningkatan kebutuhan air bagi berbagai keperluan akibat pertambahan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian serta adanya pembangunan di berbagai sektor dapat berdampak positip dan negatif bagi kuantitas dan kualitas sumberdaya air yang ada. Dampak positif timbul dari peningkatan kuantitas sumberdaya air akibat adanya kegiatan penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan manusia seperti pembangunan dam, bendungan dan sebagainya. Di sisi lain, berbagai kegiatan manusia ini juga berdampak negatif pada sumberdaya air yang ada seperti pencemaran, penurunan muka air tanah, penuruan permukaan tanah (amblesan atau subsidence) yang ditimbulkan pengambilan kuantitas air yang tidak memperhatikan siklus hidrologi yang ada, dan sebagainya.
Akibat adanya hubungan timbal balik dan interaksi antara manusia dan sumberdaya air yang ada dan lingkungan lainnya. Maka penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang ada juga akan mengakibatkan kemerosotan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Akumulasi interkasi berbagai kerusakan sumber air yang ada pada akhirnya kemudia menimbulkan bencana pada kehidupan manusia itu sendiri. Berbagai peristiwa bencana alam seperti banjir, longsor, penurunan muka air tanah, amblesan, intrusi air laut yang terjadi di pelosok tanah air, sebetulnya bukanlah merupakan bencana alam belaka, melainkan akibat kerusakan yang ditimbulkan manusia itu sendiri yang secara tidak langsung kemudian akan menurunkan tingkat kualitas hidup mereka.
Selain itu penurunan fungsi sarana dan prasarana bangunan yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti berbagai bendungan yang diperuntukan bagi peningkatan kuantitas sumber air dan pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat telah terancam oleh adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi pada bendungan-bendungan tersebut sehingga akan mempengaruhi usia pakai dan kegunaannya. Peningkatan sedimentasi terjadi akibat adanya peningkatan erosi oleh adanya kerusakan lahan dan vegetasi di bagian hulu sungai yang merupakan konservasi sumberdaya air bagi daerah aliran sungai yang ada. Sementara itu, pada umumnya kerusakan ditimbulkan oleh adanya tekanan hidup yang dialami oleh para penduduk terhadap sumberdaya lahan dan kawasan yang terdapat di daerah tersebut. Reaksi berantainya yang kemudian terjadi adalah timbulnya bencana-bencana longsor di daerah daerah yang telah mengalami kerusakan-kerusakan tersebut.
Hasil inventarisasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dep. ESDM), di Indonesia terdapat 423 cekungan air tanah (Dwiyanto, 2006), dengan potensi air tanah mencapai sekitar 518 miliar m3/ tahun. Adanya potensi air tanah tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat.


2. TINJAUAN UMUM
Potensi air tanah di Indonesia terdapat pada 396 (Said, HD, 2005) cekungan Air Tanah, yaitu 88 cekungan di Jawa, 27 di Sumatera, 18 di Kalimantan, 82 di Sulawesi, 42 di Bali, 42 di NTT, 9 di NTB, 69 di Maluku, dan 47 di Papua. Dari sejumlah cekungan tersebut baru beberapa cekungan saja yang dipetakan secara terperinci. Sementara itu berdasarkan peraturan Permen PU No.397 1989 tetntang pembagian wilayah sungai, maka dari 90 wilayah sungai terdapat 15 wilayah sungai lintas provinsi, 73 wilayah sungai dalam satu propinsi dan 2 wilayah sungai yang dikelola oleh BUMN.
Berdasarkan UU no 7 tahun 2004, maka visi pengelolaan sumberdaya air adalah terwujudnya kemanfaatan sumber daya air berkelanjutan yang sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat (pasal 3). Sedang misinya adalah melakukan konservasi Sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air  (penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan). Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air, Pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Dan terakhir peningkatan ketersediaan dan keterbukaan data dan informasi SDA.
Pada UU tersebut di atas disebutkan bahwa air tanah yang merupakan sumberdaya alam yang terbatas, kerusakannya sulit dipulihkan, dan bahwasannya pendayagunaan sumber daya air harus mengutamakan air permukaan. Hal tersebut menjadi dasar penyusunan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan air tanah, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.
Dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya perubahan pada siklus hidrologi di sutau daerah yang akan berdampak pada neraca airnya dapat berupa penurunan muka airtanah (MAT), yang mengakibatkan semakin sulitnya memperoleh airtanah, intrusi air asin di daerah yang berbatasan dengan pantai, dan amblesan tanah (land subsidence). Hal-hal ini sebetulnya dapat dicegah, bahkan dapat diperbaiki, apabila dilakukan perencanaan dan pengawasan yang baik dalam melakukan pengelolaan sumberdaya air yang ada dengan memperhatikan siklus hidrologi, neraca air, kebutuhan air untuk air bersih, pertanian dan industri, serta langkah-kangkah yang yang harus diambil oleh semua pihak dalam upaya untuk melakukan konservasi terhadap sumberdaya yang ada. Dalam pengelolaan ini, maka pemodelan airtanah sangat membantu pihak regulator, yaitu pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota, sesuai dengan wewenang masing-masing.
2.1.      Sumberdaya air tanah mempunyai peran cukup penting sbg. pasokan air untuk berbagai sektor pembangunan, a.l. :
-               Air minum perkotaan / pedesaan
-               Air Industri
-               Air Irigasi, dll.
2.2.      Data pemanfaatan air tanah
-               Air minum perkotaan / pedesaan - 70 %
-               Industri 90 %
-               Airtanah yang sebelumnya dianggap sebagai barang bebas yang dapat dimanfaatkan tanpa batas telah berubah menjadi barang komoditi ekonomis,bahkan sudah dapat digolongkan sebagai barang strategis.


2.3.      Keunggulan sumberdaya air tanah
              Secara Hygienis lebih sehat karena telah mengalami proses filtrasi secara alamiah.
              Cadangan relatif tetap sepanjang tahun.
              Mutu relatif tetap.
              Apabila airtanah tersedia, dapat diperoleh di tempat tsb. tanpa peralatan mahal.
2.4.      Kekurangan sumberdaya air tanah
              Terdapat di bawah permukaan tanah, untuk pemanfaatannya harus dilakukan dengan membuat sumur gali / bor.
              Keterdapatan tidak merata pada setiap tempat.
              Cadangannya terbatas, untuk keperluan air minum perkotaan atau air irigasi /industri yang cukup besar, mungkin cadangan tidak mencukupi.
2.5.      Air minum Pedesaan
              80 % penduduk Indonesia tinggal di desa
              Diperkirakan baru ± 35 % dari penduduk pedesaan mendapat air bersih dan sehat.
              Pemanfaatan airtanah u. pedesaan ± 70 %
2.6.      Air minum dan Industri Perkotaan
              Karena tingkat dan taraf kehidupan masyarakat yang lebih tinggi kebutuhan air
·                     lebih tinggi dibanding dengan daerah pedesaan.
·                     Daerah Kota kebutuhan air : ± 200 liter/orang/hari, beberapa kota besar telah mencapai 400 liter/orang/hari
·                     Daerah Pedesaan kebutuhan air : ± 60 liter/orang/hari
              Daerah-daerah perkotaan besar seperti, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang kebutuhan air masih mengandalkan pasokan dari air tanah.
2.7.      Air Irigasi
              Dalam upaya swasembada pangan, pemerintah sejak awal 1970 melalui P2AT, melaksanakan kegiatan penyelidikan dan eksplorasi airtanah di berbagai daerah di propinsi Jawa Timur.
              Hingga akhir 1990, pengembangan airtanah untuk irigasi di Jawa Timur tercapai 24.400 ha;
              Pengembangan airtanah untuk irigasi dikembangkan di Jawa Tengah, DIY, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Aceh, Lampung, Sulawesi Utara.
BAB II. PEMBAHASAN

1. DAMPAK NEGATIVE PENGGUNAAN AIR TANAH YANG BERLEBIHAN DI JAKARTA.
Pada kenyataannya pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih mengandalkan airtanah secara berlebih menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya airtanah maupun lingkungan, antara lain :
1.            Penurunan muka air tanah
2.            Intrusi air laut
3.            Amblesan tanah
Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.
Di Jakarta, layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta bergantung pada penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam jumlah besar.Pada saat yang bersamaan, pembangunan hotel mewah, apartemen, dan pusat perbelanjaan terus berlangsung. Makin banyaknya gedung besar ini secara masif menambah beban pada tanah. Kombinasi dua hal tersebut saling menunjang menciptakan ruang kosong di Bumi yang membuat tanah ambles.
Tahun 2008, saat beberapa bagian gedung BPPT, Sarinah, Menara Eksekutif, ambles, para ahli telah mengingatkan bahwa itu terjadi karena proses dewatering atau pengurasan air bawah tanah dalam jumlah besar yang tidak hati-hati serta besarnya penekanan permukaan tanah akibat pembangunan gedung-gedung pencakar langit.
Penggunaan air tanah Jakarta memang besar. Data resmi untuk pemakaian komersial menurut Dinas Pelayanan Pajak adalah 22 juta meter kubik per tahun. Biasanya penggunaan komersial adalah 30 persen dari penggunaan domestik. Dengan demikian, hitungan kasar total pemanfaatan air tanah Jakarta 73 juta meter kubik per tahun. Akan tetapi, penghitungan berdasar jumlah penduduk yang 9 juta orang, rata-rata kebutuhan air dan kemampuan layanan PT Palyja dan PT Aetra, maka angka minimal pemanfaatan air tanah yang muncul adalah 270 juta meter kubik per tahun, jauh di atas batas pengambilan aman, yaitu 60 juta meter kubik per tahun.
Gap yang besar ini mungkin terjadi karena pengawasan air tanah masih sangat minimal. Jumlah aparat yang bertugas mengawasi dapat dihitung dengan jari, sementara pemanfaat komersial sudah ribuan jumlahnya. Di sisi lain, pengawasan dari masyarakat sangat sulit dilakukan karena data pemanfaat komersial air tanah tertutup rapat.
1.1       Cekungan Air Tanah Jakarta
Muka air tanah cekungan Jakarta terus mengalami perubahan sesuai dengan berjalannya waktu. Hasil studi yang dilakukan oleh BIT GTL & Dinas Pertambangan DKI Jakarta, 1994) menunjukkan kedudukan muka air tanah untuk berbagai akuifer dapat diuraikan sebagi berikut:
1.1.1. Akuifer air tanah tak tertekan (<40 m)
Pengambilan air tanah, khususnya airtanah dalam (deep groundwater) dari sumur bor yang terdaftar menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat :
           1985 dengan jumlah pengambilan airtanah sekitar 30 juta m3/tahun,
           1991 meningkat menjadi 31 juta m3/tahun dari sejumlah 2640 sumur,
           1993 pengambilannya tercatat 32,6 juta m3/tahun dari sekitar 2800 sumur,
           1994, pengambilan airtanah telah mencapai 33,8 juta m3.
Jumlah pengambilan airtanah yang sebenarnya relatif jauh lebih besar dari angka-angka tersebut di atas, karena masih banyaknya sumur-sumur produksi yang belum terdaftar. Berdasarkan hasil kalibrasi pada 1985, jumlah pengambilan airtanah pada 1994 diperkirakan telah mencapai sekitar 53 juta m3.
-Muka airtanah pada sistem akuifer ini menunjukkan pola fluktuasi dengan kecenderungan turun selama periode pemantauan. Di wilayah DKI Jakarta, kecepatan penurunan pada pemantauan >2 tahun (periode panjang) antara 0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong). Pada periode 1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44 m/tahun (Cilandak).
- Pola perubahan muka air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat berlangsungnya musim penghujan, muka airtanah umumnya cenderung naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan muka airtanah secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat musim kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan, pasar Rebo dan Cilandak, perubahan muka air tanah sangat terkait dengan pola pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.
Akuifer air tanah tak tertekan mempunyai kedudukan muka alami (1956) sekitar 5 m (aml), yang kemudian turun menjadi 2,49 m (bml) pada tahun 1992. Pada tahun 1994 muka air tanah mengalami penurunan terdalam yang mencapai 3,48 - 3,50 m (bml), sedangkan hasil studi 1996 menunjukkan penurunan antara 01,0-4,35 m (bml).  Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 3,0-11,0 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995), menunjukkan bahwa akuifernya, memiliki hubungan dengan air laut dan tidak memperlihatkan terjadinya proses intrusi air laut. Proses yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikoarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 10,318 ± 13,639 tahun.

1.1.2. Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m)
Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2 hanya terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatanpenurunan muka airtanah selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan 2,47 m/bulan (kompleks Jakarta Land), sementara di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 0,81 m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan muka airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72 m/tahun (Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur) dan 3,96 m/tahun (Senayan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di Teluk Pucung.
Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala penurunan, berkaitan dengan pola Qabs di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Meskipun di beberapa lokasi pemantauan menunjukkan pola muka airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan, terutama gejala penurunan muka airtanah yang terjadi pada saat musim kemarau, namun karena kedudukan lapisan akuifer tertekan tengah cukup dalam, maka diduga tidak ada pengaruh yang berarti dari curah hujan, kecuali terjadi kebocoran pada konstruksi sumur.
Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m) memiliki kedudukan muka air tanah dalam (1956) antara 1 - 10 m (ami), dan mengalami penurunan kembali pada tahun 1992 menjadi 18,64 - 35,50 m (bml). Dan pada tahun 1994 muka air tanah turun kembali menjadi 31,78 - 56,90 m (bml). Sedangkan hasil studi 1995 memperlihatkan bahwa mat nya telah mengalami kenaikan antara 12,70 - 52,98 m (nml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 1,5 - 7,5 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995) memperlihatkan bahwa akuifernya tidak memiliki hubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis isotop memperlihatkan bahwa umur rata-rata air tanahnya adalah 17.500 s/d 22.006 tahun.


1.1.3. Akuifer air tanah tertekan bawah (>140 m)
Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan Cengkareng-Pedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode >2 tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara selama periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan 4,70 m/tahun (kompleks PT BASF). Pola perubahan muka airtanah pada sistem akuifer tertekan bawah berhubungan erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya, di mana pola perubahan pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Didaerah Jakarta Utara pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam) pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah, ditunjukkan oleh kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer tertekan atas), kompleks DPRD Kebon Sirih dan
Cengkareng Pedongkelan (akuifer tertekan bawah). Tetapi hasil pemantauan periode panjang (>2 tahun) masih menunjukkan gejala penurunan di semua lokasi pemantauan termasuk di tiga lokasi pemantaun. Kondisi tersebut merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol terhadap jumlah pengambilan airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Akuifer air tanah tertekan bawah memiliki kedudukan mat alami (1956) sekitar 2 m (negatif), yang kemudian mengalami penurunan menjadi 22,0-33,90 m (bml). Selama tahun 1994 terus terjadi penurunan mat menjadi 40,0-51,40 m (bml), sedangkan hasil studi 1995 menunjukkan bahwa akiufernya tidak berhubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat. Hasil analisis isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 17,172 tahun s/ d 32,58 tahun.
Adanya data air tanah akuifer tertekan atas (40-140 m) yang bersifat payau ternyata berada di tepi kali Grogor, Sunter dan Cakung, sehingga pencemaran air payau ke dalam akifer tesebut adalah melalui mekanisme pasang naik air laut yang masuk ke dalam aliran air sungai dan mencemari air tanah dangkalnya. Air tanah payau ini akan menyebabkan rusaknya pipa sumur bor dalam yang selanjutnya akan mengakibatkan pipa menjadi keropos dan bocor, dan akhirnya mencemari air tanah tertekan atas (Distam DKI Jakarta &DitGTL, 1995).
Air garam yang berada dalam akuifer tertekan dapat pula merupakan air tanah tua (Distam DKI Jakarta & GT, 1966) karena lingkungan pengendapan akuifer adalah pengendapan fluviatil serta laut (Hehanusa & Djoehanah, 1983 dan Distam DKI Jakarta & P3G 1995).
2. ANALISA
Pengambilan air tanah yang berlebihan telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan seperti penurunan muka air tanah, intrusi air laut, penurunan muka air sungai pada musim kemarau dan amblesan tanah. Hal ini tidak akan terjadi apabila dilakukan kegiatan konservasi air tanah untuk menjaga kelestarian, kesinambungan ketersediaan, daya dukung, fungsi air tanah, serta mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan air tanah.
Pemerintah Jawa Barat dalam rangka konservasi air tanah ini telah membuat perda yang diperlukan dalam langkah konservasi ini, yaitu Perda No 16 tahun 2001 tentang pengelolaan Air Bawah Tanah dan Perda No 6 tahun 2001 tentang pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Dalam kebijakan operasionalnya, strategi yang ditempuh adalah :
1.    Zona kritis dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 8 % per tahun
2.    Zona rawan dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 5 % per tahun
3.    Penambahan resapan air ke dalam tanah sebesar 4 % per tahun
4.    Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan
5.    Mengatur sebaran titik pengambilan air tanah berdasarkan kapasitas optimum akifer guna menghindari terbentuknya zona kritis dan rawan
Sedang kegiatan operasional, sebagai implementasi strategi diatas, dilakukan langkah sebagai berikut:
1.    Pengurangan debit melalui syarat teknis Daftar Ulang Ijin Pengambilan Air Tanah (SIPA)
2.    Penertiban pengambilan air tanah
3.    Sosialisasi upaya pengehematan dan konservasi air tanah
4.    Koordinasi dan Kerjasama antara stakeholder terkait
Langkah-langkah serupa di atas, telah dilakukan juga oleh Pemerintah DKI Jakarta. Seiring dengan semakin meningkatknya kebutuhan air bersih di Indonesia dengan mempertimbangkan konservasi air tanah, maka dalam dekade mendatang tidak akan terjadi bencana nasional.
Dalam skala kecil, peningkatan kualitas hidup tersebut akan terjadi, dan juga keseimbangan sektor lainnya. Berbagai peraturan telah dibuat berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Begitu pula halnya dengan instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tanah menjadi wewenang Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sedangkan Pengelolaan air permukaan menjadi wewenang Departemen Kimpraswil. Sedangkan wewenang regulasi pengelolaan kualitas air permukaan dan tanah dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan terdapat pada kementrian negara Lingkungan Hidup.
Dalam penyelamatan air tanah untuk melakukan konservasi dan pengendalian air tanah demi menjaga kesinambungan ketersediaan air tanah dan menjamin keberlangsungan pemanfaatannya, maka beberapa kegiatan telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain :
1.    Menentukan cekungan air tanah..
2.    Pemantauan perubahan kuantitas dan kualitas serta lingkungan air tanah
3.    Penentuan daerah imbuhan (non budidaya) dan daerah lepasan (budidaya)
4.    Penetapan daerah perlindungan air tanah (zona aman, rawan, kritis, dan rusak)
5.    Pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi air tanah
6.    Penetapan kebijakan dan pengaturan air tanah
7.    Pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan konservasi air tanah.

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
1.    pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih mengandalkan air tanah secara berlebih menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya air tanah maupun lingkungan yaitu Penurunan muka air tanah,Intrusi air laut, dan Amblesan tanah
2.    Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah
3.    Ketidakseimbangan siklus hidrologi yang terdapat di suatu daerah telah mengakibatkan terganggunya susbsitem air tanah yang berada di dalamnya, sehingga mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan seperti, penurunan muka air tanah, penurunan muka air sungai pada musim kemarau, amblesan, dan intrusi airlaut.
4.    Peraturan tentang Cekungan Air Tanah sementara ini baru untuk P Jawa, untuk daerah lainnya belum ada, sehingga hal ini harus lebih ditingkatkan lagi secara bertahap.
5.    Harus ada keterpaduan dan integrasi antara air tanah yang terletak dalam satu cekungan air tanah namun terletak pada pada wilayah sungai yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya air yang hendak dilakukan.
6.    Dalam upaya konservasi air tanah, maka perlu dilakukan menjaga keberlangsungan pengisian atau peresapan air dari sumber air permukaan atau hujan yang terdapat di setiap WS melalui Pelestarian Kawasan Resapan Air, dan Pengisian Air Kembali kedalam tanah (artificial recharge),
7.    Pemantauan penurunan muka air tanah pada setiap CAT perlu dilakukan untuk mengetahui dampaknya terhadap land subsidence dan potensi intrusi air laut.
Cheers.
FR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar